Perlindungan Konsumen Dalam
Transaksi E-Commerce
A. Pengertian
Cyberlaw
Cyberlaw
adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya
diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi
dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu". Sementara itu,
Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
yuridis, cyber law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
yuridis, cyber law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Hukum Siber (Cyber Law)
adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi.
Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of
Information Techonology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum
Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan
pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Istilah hukum siber digunakan
dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan
“dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian
dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan
jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu
yang tidak terlihat dan semu.
C.
Mekanisme Transaksi E-commerce yang
Berlangsung Saat ini
E-commerce dapat di definisikan sebagai segala
bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang atau jasa (trade of
goods and services) dengan menggunakan media elektronik. Sistem perdagangan
yang digunakan dalam e-commerce ini dirancang untuk menandatangani secara
elektronik. Adapun segmentasi atau ruang lingkup e-commerce meliputi
tiga sisi yakni segmentasi bisnis ke bisnis, bisnis ke konsumen dan konsumen ke
konsumen.
Salah satu isu terbesar dalam
implementasi sistem E-Commerce adalah mengenai mekanisme transaksi pembayaran
via internet. Dalam bisnis konvensional sehari-hari, seseorang biasa melakukan
pembayaran terhadap produk atau jasa yang dibelinya melalui berbagai cara. Cara
yang paling umum adalah dengan membayar langsung dengan alat pembayaran yang
sah (uang) secara tunai (cash). Cara lain adalah dengan menggunakan kartu
kredit (credit card), kartu debit (debet card), cek pribadi (personal check),
atau transfer antar rekening. Proses pembayaran biasanya dilakukan di tempat
dimana produk atau jasa tersebut diperjualbelikan.
Lokasi tersebut biasa disebut
sebagai POS (Point-Of-Sale). Prinsip pembayaran di dalam sistem E-Commerce
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dunia nyata, hanya saja internet (dunia
maya) berfungsi sebagai POS yang dapat dengan mudah diakses melalui sebuah
komputer pesonal (PC).
Langkah pertama yang biasa dilakukan
konsumen adalah mencari produk atau jasa yang diinginkan di internet dengan
cara melakukan browsing terhadap situs-situs perusahaan yang ada. Melalui
online catalog-nya, konsumen kemudian menentukan barang-barang yang ingin
dibelinya. Setelah selesai “memasukkan” semua barang (pesanan dalam bentuk
informasi) ke dalam digital cart (kereta dorong digital), maka tibalah saatnya
untuk melakukan pembayaran (seperti halnya membawa kereta dorong ke kasir di
sebuah supermarket).
Langkah selanjutnya adalah konsumen
berhadapan dengan sebuah halaman situs yang menanyakan berbagai informasi
sehubungan dengan proses pembayaran yang ingin dilakukan. Informasi yang biasa
ditanyakan sehubungan dengan aktivitas ini adalah sebagai berikut:
1. Cara pembayaran yang ingin
dilakukan, seperti: transfer, kartu kredit, kartu debit, cek personal,
dan lain sebagainya. Jika menggunakan kartu kredit misalnya, informasi lain
kerap ditanyakan, seperti nama yang tercantum dalam kartu, nomor kartu, expire
date, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah jika menggunakan cek personal,
biasanya selain nomor cek, ditanyakan pula nama dan alamat bank yang
mengeluarkan cek tersebut.
2. Data atau informasi pribadi dari
yang melakukan transaksi, seperti: nama, alamat, nomor telepon, alamat
penagihan, dan lain sebagainya. Jika konsumen ingin melakukan pembayaran dengan
metoda lain, seperti digital cash atau electronic check misalnya, konsumen
diminta untuk mengisi user name dan password terkait sebagai bukti otentik
transaksi melalui internet.
3. Bagi perusahaan yang memperbolehkan
konsumennya untuk melakukan pembayaran beberapa kali (cicilan), biasanya
akan ditanyakan pula termin pembayaran yang dikehendaki.
Setelah
konsumen mengisi formulir elektronik tersebut, maka perusahaan yang memiliki
situs akan melakukan pengecekan berdasarkan informasi pembayaran yang telah
dimasukkan ke dalam sistem. Melalui sebuah sistem gateway (fasilitas yang
menghubungkan dua atau lebih sistem jaringan komputer yang berbeda), perusahaan
akan melakukan pengecekan (otorisasi) terhadap bank atau lembaga keuangan yang
berasosiasi terhadap medium pembayaran yang dipilih oleh konsumen (misalnya
menghubungi Visa atau Mastercard untuk jenis pembayaran kartu kredit). Lembaga
keuangan yang terkait kemudian akan melakukan proses otorisasi dan verifikasi
terhadap berbagai hal, seperti: ketersediaan dana, validitas medium pembayaran,
kebenaran informasi, dan lain sebagainya. Jika metode pembayaran yang dipilih
melibatkan lebih dari satu bank atau lembaga keuangan, proses otorisasi dan
verifikasi akan dilakukan secara elektronik melalui jaringan komputer antar
bank atau lembaga keuangan yang ada.
Hasil
dari proses otorisasi dan verifikasi di atas secara otomatis akan “diinformasikan”
kepada pelanggan melalui situs perusahaan. Jika otorisasi dan verifikasi
berhasil, maka konsumen dapat melakukan proses berikutnya (menunggu barang
dikirimkan secara fisik ke lokasi konsumen atau konsumen dapat melakukan
download terhadap produk-produk digital). Jika otorisasi dan verifikasi gagal,
maka pesan kegagalan tersebut akan diberitahukan melalui situs yang sama.
Berbagai cara biasa dilakukan oleh perusahaan maupun bank untuk membuktikan
kepada konsumen bahwa proses pembayaran telah dilakukan dengan baik, seperti:
1. Pemberitahuan melalui email mengenai
status transaksi jual beli produk atau jasa yang telah dilakukan;
2. Pengiriman dokumen elektronik
melalui email atau situs terkait yang berisi “berita acara” jual-beli dan
kwitansi pembelian yang merinci jenis produk atau jasa yang dibeli berikut
detail mengenai metode pembayaran yang telah dilakukan;
3. Pengiriman kwitansi pembayaran
melalui kurir ke alamat atau lokasi konsumen;
4. Pencatatan transaksi pembayaran oleh
bank atau lembaga keuangan yang laporannya
akan diberikan secara periodik pada akhir bulan; dan lain sebagainya.
Menyangkut transaksi pembayaran
melalui internet, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh oleh mereka yang mengembangkan sistem E-Commerce, yaitu:
1. Security – data atau informasi yang
berhubungan dengan hal-hal sensitif semacam nomor kartu kredit dan
password tidak boleh sampai “dicuri” oleh yang tidak berhak, karena dapat
disalahgunakan di kemudian hari;
2. Confidentiality – perusahaan harus
dapat menjamin bahwa tidak ada pihak lain yang mengetahui terjadinya transaksi
jual beli dan pembayaran, kecuali pihak-pihak yang memang secara hukum harus
mengetahuinya (misalnya bank);
3. Integrity – sistem harus dapat
menjamin adanya keabsahan dalam proses jual beli, yaitu harga yang tercantum
dan dibayarkan hanya berlaku untuk jenis produk atau jasa yang telah dibeli dan
disetujuai bersama;
4. Authentication – proses pengecekan
kebenaran dimana pembeli maupun penjual merupakan mereka yang benar-benar
berhak melakukan transaksi seperti yang dinyatakan oleh masing-masing pihak;
5. Authorization – mekanisme untuk
melakukan pengecekan terhadap keabsahan dan kemampuan seorang konsumen untuk
melakukan pembelian (adanya dana yang diperlukan untuk melakukan transaksi jual
beli);
6. Assurance – kondisi dimana konsumen
yakin bahwa perusahaan E-Commerce yang ada benar-benar berkompeten untuk
melakukan transaksi jual beli melalui internet (tidak melanggar hukum, memiliki
sistem yang aman, dsb.
Dalam perkembangannya, sistem pembayaran
melalui internet dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mengingat bahwa seluruh
mekanisme tersebut dilakukan di sebuah dunia maya yang penuh dengan potensi
kejahatan, maka adalah merupakan suatu keharusan bagi perusahaan-perusahaan
besar untuk melakukan audit terhadap kinerja sistem pembayaran perusahaan
E-Commerce-nya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Di
pihak konsumen, adalah baik untuk tidak langsung percaya begitu saja terhadap
perusahaan maupun “dunia maya” yang ada.
D.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dalam Mengakomodasi Transaksi E-commerce
UUPK belum dapat melindungai
konsumen dalam transaksi e- commerce karena ketentuan – ketentuan yang
tercantum dalam UUPK belum mengakomodir hak-hak konsumen dalam transaksi
e-commerce. Hal tersebut dikarenakan ecommerce mempunyai
karakteristik tersendiri dibandingan dengan transaksi konvensional.
Karakteristik tersebut adalah : tidak bertemunya penjual dan pembeli,
media yang digunakan adalah internet, transaksi dapat terjadi melintasi batas-batas
yuridis suatu negara, barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang/jasa
atau produk digital seperti software. Dalam hukum positif Indonesia,
hak-hak konsumen diakomodir dalam Pasal 4 UUPK, yaitu :
1)
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2)
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
3)
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4)
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.
5)
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6)
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
8)
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
9)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan
hasil penelitian, pada transaksi e-commerce hak-hak konsumen sangat
riskan sekali untuk dilanggar, dalam hal ini konsumen tidak mendapatkan
ha-haknya secara penuh dalam transaksi e-commerce. Hak-hak tersebut
antara lain :
1)
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2)
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi suatu barang;
3)
Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya dalam penggunaan
barang dan jasa;
4)
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Apabila diperhatikan, hak-hak
konsumen yang secara normatif diatur oleh UUPK terkesan hanya terbatas pada
aktivitas perdagangan yang bersifatnya konvensional. Di samping itu
perlindungan difokuskan hanya pada sisi konsumen serta sisi produk yang
diperdagangkan sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha seperti informasi
tentang identitas perusahaan pelaku usaha serta jaminan kerahasiaan data-data
milik konsumen belum diakomodir oleh UUPK, padahal hak-hak tersebut sangat
penting untuk diatur untuk keaman konsumen dalam bertransaksi.
Keterbatasan UUPK untuk melindungi
konsumen dalam bertransaksi ecommerce juga tampak pada terbatasnya ruang
lingkup pengertian pelaku usaha. Pasal 1 ayat (3) undang -undang ini
menyebutkan, yang dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi”.
Sedangkan menurut penjelasan pasal 1
ayat (3) UUPK, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah “pelaku usaha yang
termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Melihat pengertian di atas sangatlah
sempit sekali ruang lingkup pengertian pelaku usaha yang diatur oleh UUPK,
dimana pelaku usaha yang diatur dalam undang-undang ini adalah pelaku usaha
yang wilayah kerjanya di wilayah negara Republik Indonesia. Padahal jika kita
lihat dari karakteristik dari ecommerce, salah satunya adalah
perdagangan yang melintasi batas – batas negara maka pengertian pelaku usaha
dalam UUPK ini tidak dapat menjangkau jika pelaku usaha tersebut tidak berada
di wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi UUPK tetap masih menjangkau
pelaku usaha toko online yang melakukan usahanya di wilayah negara
Republik Indonesia.
- Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Transaksi e-commerce seperti
layaknya suatu transaksi konvensional dimana menimbulkan hak dan kewajiban
antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam pemenuhan hak dan kewajiban ini
tidak selamanya mulus. Sehingga dimungkinkan terjadinya sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Jika pelaku usaha dan konsumen sama-sama berada di wilayah
negara Republik Indonesia maka penyelesaian sengketa dapat di lakukan menurut
cara penyelesaian sengketa yang ada di UUPK.
Akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana jika pelaku usaha tersebut tidak berada di
wilayah Republik Indonesia sedangkan konsumennya warga negara Indonesia.
Haruslah dipilih cara penyelesaian sengekta yang efektif dan efisien. Maka cara
untuk mengatasi masalah ini adalah mengunakan alternative penyelesaian
sengketa. Dimana alternatif penyelesaian sengketa ini lebih efisien
dibandingkan dengan melalui jalur pengadilan.
Memperhatikan semakin banyaknya
masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari e-commerce dalam
aktivitas perdagangan serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian
sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak. Maka penerapan mekanisme
penyelesaian sengketa alternatif (ADR) dalam perdagangan secara elektronik
merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa sekaligus sebagai salah
satu bentuk perlindungan hukum.
Terkait dengan aspek hokum yang
berlaku dalam transaksi e-commerce terutama dalam upaya untuk melindungi
konsumen, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang dan ketentuan-ketentuan
yang mengakomodasi tentang perdagangan elektronik yang merupakan salah satu
ornament utama dalam bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar